Rabu, 24 Juni 2015

Keutamaan Menuntut Ilmu (makalah)



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Islam juga mengatur kehidupan umat manusia di dunia dan segala aspeknya. Bahkan Islam juga mendorong kemajuan dan memerintahkan agar manusia terus mengusahakan kesejahteraan hidupnya.
Tentang ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadis nabi yang memerintahkan manusia untuk mencari ilmu atau belajar, masih sedikit yang diketahui oleh orang awam, apalagi yang belum pernah memperdalam Islam.
Setelah digali ternyata ditemukan banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis nabi yang memerintahkan agar umat Islam terus menerus mencari ilmu atau belajar, dengan tidak mengenal pembatasan usia atau tempat.
Kehadiran Nabi Adam as. di atas bumi berbekal ilmu pengetahuan. Dengan ilmu tersebut, Adam dan anak cucunya terangkat derajatnya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dapat dibuat sebagai standar kualitas stratifikasi manusia. Namun ilmu sebagai pengangkat derajat manusia tidak di dapat begitu saja, tetapi dibutuhkan usaha dalam mendapatkannya.
Hampir menjadi semacam kesepakatan umum, bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang ada dalam banyak hal didominasi oleh ilmu, yang pada tingkat praksis dan penerapan menjadi teknologi. Tanpa harus menjadikan ilmu sebagai “pseudo-religion”, jelas bahwa maju atau mundurnya suatu masyarakat di masa kini dan mendatang banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan dan kemajuan ilmu. Meski masa kini dan masa mendatang disebut sebagai zaman globalisasi, tetapi sejauh menyangkut ilmu dan teknologi, globalisasi dan kedua bidang ini tetap terbatas. Negara-negara paling termuka dalam ilmu dan teknologi tidak begitu saja memberikan informasi atau melakukan transfer ilmu dan tehnologi kepada Negara-negara berkembang. Termasuk di dalamnya Indonesia. Oleh karena itu kita dituntut untuk mencari ilmu itu sepanjang hidup dan oleh Allah swt diberikan keutamaan-keutamaan kepada mereka (para pencari ilmu) dengan derajat yang tinggi sebagaimana yang akan kami uraikan dalam makalah ini.
PEMBAHASAN

A.    Ayat-Ayat Al-Quran Mengenai Keutamaan menuntut Ilmu

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadilah ayat 11)


Penjelasannya
Ayat di atas memberi tuntunan bagaimana menjalin hubungan harmonis dalam satu majlis. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu oleh siapa pun berlapang-lapanglah yakni berupayalah dengan sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri untuk memberi tempat orang lain dalam majelis-majelis yakni satu tempat, baik tempat duduk maupun bukan untuk duduk, apabila diminta kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah tempat itu untuk orang lain itu dengan suka rela. Jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila dikatakan berdirilah kamu ke tempat yang lain, atau untuk tempat duduk buat orang lain yang lebih wajar, atau bangkitlah untuk melakukan sesuatu seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkit-lah, Allah akan meninggikan orang-orang diantara kamu wahai yang memperkenankan tuntutan ini dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Kemudian di dunia dan di akhirat dan Allah terhadap apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa datang Maha mengetahui.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa ayat di atas turun pada hari jumat, ketika itu Rasul saw. Berada di suatu tempat yang sempit. Dan telah menjadi kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Nah, ketika majelis sedang berlangsung, beberapa orang diantara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw. Nabi pun menjawab selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga dijawab namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja berdiri
Menurut mufassir kenamaan Quraish Shihab, ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperang besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu saja yang dimaksud alladzina utu al-ilmu/ yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ  
tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S At-Taubah ayat 122)


Ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke medan perang sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum maka mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar diantara mereka beberapa orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk memberi peringatan kepada kaum mereka yang menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rasul saw. Itu apabila nanti setelah selesai tugasnya. Mereka, yakni anggota pasukan itu telah kembali kepada mereka yang memperdalampengetahuan itu, supaya mereka yang jauh dari Rasul saw. Karena tugasnya dapat berhati-hati dan menjaga diri mereka.
Menurut Al-Biqa’i, kata Tha’ifah dapat berarti satu atau dua orang. Ada juga yang tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang jelas ia lebih kecil dari firqah yang bermakna sekelompok manusia yang berbeda dengan kelompok yang lain. Karena itu satu suku atau bangsa masing-masing dapat dinamai firqah.
Kata liyatafaqqahu terambil dari kata fiqh, yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersebunyi. Bukan sekedar pengetahuan. Penambahan huruf ta’ pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikian kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan.
Ayat ini menggaris bawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah bahkan, pertahanan wilayah berkaitan erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan serta sumber daya manusia. Sementara ulama menggaris bawahi persamaan redaksi anjuran/perintah menyangkut kedua hal tersebut yaitu perang dan memperdalam ilmu.
Sedangkan menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an mengatakan bahwa untuk ke medan perang tidak sepatutnya semua orang mukmin pergi. Namun untuk kepentingan itu ada sekelompok tersendiri secara bergiliran antara yang berperang dengan yang tetap berdiam diri yang bertugas memperdalam agama, sementara itu Hasan al Basri, Ibnu Katsir adalah bahwa agama ini ”manhaj Haraki”, yang tak dapat dipahami kecuali oleh orang yang berharakah dengannya. Oleh karena itu, orang-orang yang keluar untuk berjihad memperjuangkan agama ini adalah orang-orang yang potensial untuk memahaminya, karena ia telah menyingkap banyak rahasia dan makna agama ini. Juga mendapat penglihatan secara langsung atas ayat-ayatnya dan implementasi praksisnya pada saat ia mengusung harakah agama ini.
Sedangkan orang-orang yang berdiam diri di dalam negeri, mereka itulah yang membutuhkan penjelasan dari orang-orang yang telah berharakah dengan agama ini. Karena, mereka tak menyaksikan apa yang telah disaksikan oleh orang-orang yang keluar berjuang, tak memahami seperti pemahaman mereka dan tak mencapai rahasia-rahasia agama ini seperti yang dicapai oleh oleh orang-orang yang berharakah. Terutama jika keluarnya bersama Rasulullah. Keluar bersama beliau itu secara umum amat mendekatkan orang untuk memahami dan menguasai pengertian agama ini.
yÎgx© ª!$# ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd èps3Í´¯»n=yJø9$#ur (#qä9'ré&ur ÉOù=Ïèø9$# $JJͬ!$s% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd âƒÍyêø9$# ÞOŠÅ6yÛø9$# ÇÊÑÈ  
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu[1] (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Imran ayat 18)
Penjelasan

Kata Syahida yang di atas diterjemahkan dengan menyaksikan, mengandung banyak arti antara lain melihat, mengetahui, menghadiri, dan menyaksikan, baik dengan mata kepala maupun dengan mata hati. Seorang saksi adalah yang menyampaikan kesaksian di pengadilan atas dasar pengetahuan yang diperolehnya, kesaksian mata atau hati. Dari sini, kata menyaksikan di atas dipahami dalam arti menjelaskan dan menerangkan kepada seluruh mahluk.
Setelah menjelaskan kesaksiaan Allah atas dirinya, ayat ini melanjutkan bahwa para malaikatpun ikut meyaksikan. Kesaksian malaikat tercermin dalam ketaatan mereka kepada Allah. Mereka melaksanakan seluruh perintahnya dan menjauhi seluruh larangannya atas dasar pengetahuan mereka bahwa tiada Tuhan selainnya. Bukan hanya para malaikat tetapi orang-orang yang berilmu juga menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan dia Allah yang maha Esa. Kesaksian mereka berdasar dalil-dalil logika yang tidak terbantahkan, juga pengalaman-pengalaman rohani mereka yang mereka dapatkan serta fitrah yang melekat pada diri mereka.
Allah menyaksikan dirinya maha Esa, tiada Tuhan selain Dia. Keesaan itupun disaksikan oleh para malaikat dan orang-orang yang berpengetahuan, dan masing-masing yakni Allah, malaikat, dan orang-orang yang berpengetahuan, secara berdiri sendiri menegaskan bahwa kesaksian yang mereka lakukan itu adalah berdasar keadilan. Maka ini yang sementara dipahami oleh para ulama sebagai arti qa’iman bil qisth yang redaksinya berbentuk tunggal. Tentu saja, kata mereka bentuk tunggal itu tidak menunjukan kepada Allah, mailaikat dan orang-orang berilmu sekaligus. Ada juga yang menjadikan kata qa’iman bil qisth yang berbentuk tunggal itu sebagai penjelasan tentang keadaan Allah swt, dalam arti tidak ada yang dapat menyaksikan Allah dengan penyaksian yang adil, yang sesuai dengan keagungan dan keesaan-Nya kecuali Allah sendiri, karena hanya Allah yang mengetahui secara sempurna siapa Allah. “ketuhanan adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh Allah, maka tidak akan ada satupun yang mengenal-Nya kecuali diri-Nya sendiri”. Demikian Imam Al-Gazali, karena itu pula, “jika anda bertanya apakah puncak pengetahuan mahluk tentang Allah ?, maka saya menjawab (Al-Gazali) puncak pengetahuan mereka adalah ketidak mampuan mengetahuinya”.
Menurut Abu Ja’far : Ayat tersebut sebenarnya bantahan bagi kaum Nasrani yang datang untuk mendebat Rasulullah SAW, yakni pernyataan mereka yang mengatakan bahwa Isa adalah putra Allah, juga bantahan bagi kaum musyirik yang menyekutukan Allah dengan yang lain. Allah mengabarkan tentang diri-Nya, bahwa dialah yang menciptakan segalanya dan dialah yang telah menciptakan sesembahan kaum musyirik. Semua itu lalu disaksikan oleh para malaikat dan ahli ilmu.
Beberapa ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ”orang-orang yang berilmu” pada ayat ini adalah para Nabi utusan Allah. Sedangkan Ibnu Kaisan berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman dari kalangan ahlulkitab. Dan terakhir pendapat dari As-Suddi dan Al Kalabi, mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah semua orang-orang yang beriman. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling diunggulkan, karena lebih bersifat umum dalam pemaknaannya. Ayat ini didukung dengan ayat yang lain seperti yang terdapat dalam qur’an surah Al-Ankabut ayat 43 di bawah ini :
šù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $ygç/ÎŽôØnS Ĩ$¨Z=Ï9 ( $tBur !$ygè=É)÷ètƒ žwÎ) tbqßJÎ=»yèø9$# ÇÍÌÈ  
Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.

Penjelasannya
Firman Allah yang berbicara tentang amtsal al-qur’an (perumpamaan al-qur’an) sebagai : “Tiada ada yang memahaminya kecuali orang-orang ‘alim” mengisyaratkan bahwa perumpamaan-perumpamaan dalam al-qur’an mempunyai makna-makna yang dalam, bukan terbatas pada pengertian kata-katanya. Masing-masing orang sesuai kemampuan ilmiahnya dapat menimbah dari matsal itu pemahamannya yang boleh jadi berbeda bahkan lebih dalam dari orang lain. Ini juga berarti bahwa perumpamaan-perumpamaan yang dipaparkan di sini bukan sekedar perumpamaan yang bertujuan sebagai hiasan kata-kata, tetapi yang mengandung makna serta pembuktian yang sangat jelas.

B.     Hadist-Hadist tentang Keutamaan menuntut ilmu
وَ قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : طَلَبِ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ وَضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ اَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيْرِ الْجَوْهَرَ وَ للُّؤْلُؤَ وَ الذَّهَبَ. (رواه ابن مجاه)
Artinya :
“dan Rosulullah Saw. Telah bersabda : Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan orang yang menertawakan ilmu agama) seperti orang yang mengalungi beberapa babi dengan beberapa permata, dan emas. (H.R. Ibnu Majah,Al-Baihaqi,Anas bin Malik dan lain lain serta Al-Mundiri 28/1)

Penjelasan
Hadist tersebut merupakan penjelasan tentang hukum mencari ilmu bagi setiap orang Islam laki laki maupun perempuan, yang telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan lain lain. Akan tetapi hadist tersebut diberi tanda lemah oleh imam Syuyuti.[2]
Adapun hukum menuntut ilmu menurut hadist tersebut adalah wajib. Karena melihat betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa mempunyai ilmu. Bahkan dalam kitab taklimul muta’allim dijelaskan bahwa yang menjadikan manusia memiliki kelebihan diantara makhluk – makhluk Allah yang lain adalah karena manusia memilki ilmu.[3]
Dan janganlah memberikan ilmu kepada orang yang enggan menerimanya, karena orang yang  enggan menerima ilmu tidak akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan mereka akan menertawakannya.[4]


حَدَ ثَنَا هِشَاُمِ بِنْ عَمّاَرٍحَفْصُ بِنْ سُلَيْمَانَ.كَثِيْرُ بِنْ شِنْظِيْرِ,عَنْ مُحَمَّدْ بِنْ سِيْرِ يْنَ,عَفْ أَئَفْسِ بن ما لك.قال:قال رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم (طَلَبُ اْلِعلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ. وَوَاضِعُ اْلعِلمِ عِنْدَغَيْر اَهْلِهِ كَمُقَلِّهِ اْلَخفَازِيْرِ الْجَوْهَرَوَالُّلؤْلُؤُ وَالذَّهَبَ). (رواه ابن مجاه)[5]

وَ وَضِعُ الْعِلْمِ      : Dan orang yang meletakkan ilmu, maksudnya orang yang  menempatkan ilmu
عِنْدَ غَيْرِ اَهْلِهِ          : Kepada orang yang bukan ahlinya, orang yang bukan faknya
كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيْرِ       : Seperti babi yang dikalungi emas( sesuatu yang tidak pantas untuk dilakukan dan akhirnya tidak ada gunanya )

Terjemah Hadits
“Rosulullah Saw. Telah bersabda : Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan orang yang menertawakan ilmu agama) seperti orang yang mengalungi beberapa babi dengan beberapa permata, dan emas. (H.R. Ibnu Majah)

Penjelasan Hadits
Hadits diatas menunjukkan bahwa fardhu bagi setiap orang muslim mencari ilmu, dan orang yang memberikan ilmu bagi selain ahlinya adalah seperti orang yang mengalungkan babi dengan mutiara, permata dan emas. Orang yang mempunyai ilmu agama yang mengamalkannya dan mengajarkannya orang ini seperti tanah tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan memberi manfaaat bagi orang lain, dan Allah juga akan memudahkan bagi orang-orang yang selama hidupnya hanya untuk mencari, dipermudahkan baginya jalan menuju kesurga. Dengan ilmu derjat orang tersebut tinggi dihadapan Allah, Allah pun akan meninggikan derajatnya di dunia maupun diakhirat nanti, seorang muslim memperbanyak mengamalkan ilmu kepada orang lain, maka semakin tinggi pula derajatnya dihadapan Allah, dibawah ini salah satu hadits yang menunjukkan bahwa seseorang yang menempuh suatu jalan dalam hidupnya untuk mencari ilmu, maka Allah akan mempermudahkan baginya jalan menuju surga. Selain Allah memberikan derajat/kedudukan yang tinggi di dunia maupun di akhirat bagi orang muslim yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya kepada orang yang belum tahu. Allah juga : Seorang yang keluar dari rumahnya dalam mencari ilmu, maka para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya untuk orang tersebut. Jadi sangat mulai orang yang berniat hanya untuk mencari ilmu semasa hidupnya.
Hadist tersebut merupakan penjelasan tentang hukum mencari ilmu bagi setiap orang Islam laki laki maupun perempuan, yang telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan lain lain. Akan tetapi hadist tersebut diberi tanda lemah oleh imam Syuyuti.
Adapun hukum menuntut ilmu menurut hadist tersebut adalah wajib. Karena melihat betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa mempunyai ilmu. Bahkan dalam kitab taklimul muta’allim dijelaskan bahwa yang menjadikan manusia memiliki kelebihan diantara makhluk-makhluk Allah yang lain adalah karena manusia memilki ilmu. Dan janganlah memberikan ilmu kepada orang yang enggan menerimanya, karena orang yang  enggan menerima ilmu tidak akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan mereka akan menertawakannya.
Ilmu sebagai suatau pengetahuan, yang diperoleh melalui cara-cara tertentu. Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum muslimin menjalankannya sebagai suatu ibadah, seperti kita menjalankan sholat,puasa. Maka orang pun mencari keutamaan ilmu. Disamping itu, timbul pula proses belajar-mengajar sebagai konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah itu proses belajar mengajar ini menimbulkan perkembangan ilmu, yang lama maupun baru, dalam berbagai cabangnya. Ilmu telah menjadi tenaga pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat. Hal itu terjadi, karena ilmu telah menjadi suatu kebudayaan. Dan sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat Muslim dan dihadapak Allah. Jadi ilmu juga bisa diartikan atau dijadikan sebagai pusat dari perubahan dan perkembangan di dalam suatu masyarakat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ))مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ((. رواه مسلم
Artinya: Dari Abu Hurairah  berkata, Rasulullah  bersabda: “Barangsiapa menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Penjelasan
Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu dan menempuh jalan yang menyampaikan kepada ilmu. Menempuh jalan dalam menuntut ilmu memiliki dua pengertian, pertama; menempuh jalan dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan menuju majlis-majlis ilmu, baik di mesjid maupun di sekolah dan di tempat-tempat ilmu lainnya. Kedua; menempuh sarana yang menyampaikan seseorang kepada ilmu sekalipun ia duduk di atas kursi di rumahnya atau di tempat kerjanya yaitu dengan membaca buku-buku tentang ilmu syar’i.
Maka barangsiapa menempuh jalan-jalan tersebut untuk memahami ilmu syar’I, mengkaji tentang apa-apa yang mengundang kekridhoan dari Allah  niscaya Allah akan mudahkan baginya untuk memasuki surga-Nya.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ((وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ)). رواه أبو داود والترمذي
Artinya: Dari Abu Darda’  berkata, aku mendengar Rasulullah  bersabda: “Dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu sebagai bentuk keridhoaan mereka terhadap apa yang ia lakukan.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
تَضَعُ Meletakkan:
أَجْنِحَتَهَاSayap-sayapny

Penjelasan
Diantara keutamaan menuntut ilmu yang dijelaskan oleh Rasulullah  adalah ketawadhuan para malaikat terhadap para penuntut ilmu. Maksud para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka adalah penghormatan mereka terhadap para penuntut ilmu sebagai bentuk keridhoan mereka.
Hukum dan Faidah:
1.      Malaikat adalah hamba Allah yang taat dan patuh terhadap segala perintah-Nya.
2.      Diantara sifat malaikat adalah memiliki sayap.
3.      Ketawadhuan para malaikat kepada penuntu ilmu.
4.      Keridhoan para malaikat terhadap penuntut ilmu menunjukkan keutaaman ilmu dan paenuntut ilmu.

عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ))مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ)). متفق عليه
Artinya: Dari Mu’awiyah  berkata, Rasulullah  bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah pahamkan ia dalam urusan agama.” (Muttafun ‘Alaih)

Kosakata:

خَيْرًاKebaikan:
يُفَقِّهْهُMemberinya kepahaman:
Penjelasan
Kepahaman dalam urusan agama adalah suatu nikmat dan anugrah yang sangat besar yang Allah berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kepahaman seseorang terhadap urusan agamanya merupakan salah satu bukti bahwa Allah menginginkan kebaikan baginya.
Maksud dari kepahaman dalam haidts ini bukan hanya terbatas pada keahliannya dalam masalah-masalah fiqih saja, akan tetapi kepahaman yang mencakup seluruh perkara yang berkaitan dengan syari’at Allah berupa aqidah, ibadah dan lain-lain.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga. Tidaklah berkumpul suatu kaum disalah satu masjid diantara masjid-masjid Allah, mereka membaca Kitabullah serta saling mempelajarinya kecuali akan turun kepada mereka ketenangan  dan rahmat serta diliputi oleh para malaikat. Allah menyebut-nyebut mereka dihadapan para malaikat.”
Sebuah hadits yang ada di shahihain dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscana akan difahamkan tentang urusan agamanya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang hamba yang memiki semangat dan perhatian dalam menuntut ilmu merupakan salah satu tanda yang menunjukkan bahwa Allah menghendaki kebaikan baginya. Karena siapa saja yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka akan difahamkan dalam urusan agamanya.
Hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya, dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan tunjukkan baginya salah satu jalan dari jalan-jalan menuju ke surga. Sesungguhnya malaikat meletakan syap-sayap mereka sebagai bentuk keridhaan terhadap penuntut ilmu.Sesungguhnya semua yang ada di langit dan di bumi meminta ampun untuk seorang yang berilmu sampai ikan yang ada di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan purnama terhadap semua bintang. Dan sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya mereka tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil bagian ilmu maka sungguh dia telah mengambil bagian yang berharga.”
Ini adalah hadits yang sangat agung. Berisi penjelasan tentang keutamaan ilmu, kemuliaan ahlul ilmi dan pahala mereka disisi Allah ta’ala. Hadits diatas mengandung lima kalimat, setiap kalimatnya menunjukkan akan keutamaan ahlul ilmi dan tingginya kedudukan mereka disisi Allahta’ala. Oleh karena itu ImamAl Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah memiliki tulisan khusus yang menjelaskan hadits ini.
Diantara hadits shahih yang menjelaskan tentang keutamaan dan kemuliaan menuntut ilmu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ : إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia telah meninggal dunia maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga amalan : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan dia.” [HR. Muslim].
Hadits ini menunjukkan atas agungnya keutamaan ilmu dan pahala mengajarkan ilmu, baik lewat kajian maupun tulisan. Karena hal tersebut akan mmbuahkan pahala yang besar untuk manusia baik dimasa hidupnya maupun setelah kematiannya. Amalannya tidak akan terputus meskipun dia sudah meninggal dunia, bahkan pahala dan ganjaran dari Allah ta’ala senantiasa mengalir kepadanya selama ilmu yang dia ajarkan dimanfaatkan oleh manusia. Ini merupakan perkara kedua yang Allah catat dan tetapkan untuk manusia
Diantara hadits yang menunjukkan akan keutamaan ilmu dan mengajarkannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Orang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.”
Didalam hadits ini terdapat penetapan kebaikan bagi orang yang menyibukkan dirinya dengan Kitabullah dengan mempelajari atau mengajarkannya. Oleh karena itu mereka termasuk orang terbaik dari umat ini. Telah datang hadits dari shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Al Qur’an dan menurunkan derajat kaum yang lain dengannya.”
Telah datang keterangan bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kecerahan wajah bagi orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu, berusaha memahami, mempelajari dan mengajarkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengarkan hadits, lalu menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Dan betapa banyak orang yang membawa fiqih namun dia bukan seorang yang faqih.”
Kandungan hadits ini menunjukkan akan keutamaan ilmu, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a yang agung dan berbarakah bagi ahlul ilmi dan penuntut ilmu.


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari serangkaian keutamaan, keistimewaan atau kelebihan menuntut ilmu yang telah disebutkan oleh Allah swt. dalam kitab-Nya (al-Qur’an) dan hadis nabi, sebagaimana yang dijelaskan oleh para mufassir: maka dapat dipahami bahwa orang yang menuntut ilmu itu memiliki keududukan yang sama dengan orang yang berjihad (perang) di jalan Allah bahkan lebih tinggi dari yang sekedar beriman tapi tidak berilmu. Agar ilmu yang dipelajari mudah dicerna, ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam menuntut ilmu yaitu menjalin hubungan yang harmonis dalam satu majelis (memberikan kelapangan kepada orang lain) dan memenuhi hak-hak Allah termasuk menjauhi kekufuran dan kesyirikan agar menjadi Ulul Albab.
Ilmu yang dianjurkan dipelajari adalah ilmu secara umum. Kemudian ilmu itu harus menghasilkan khassyah yakni rasa takut dan kagum kepada Allah yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkan untuk kepentingan makhluk.
Dengan ketekunan dan keikhlasan di dalam menuntut ilmu, maka Allah akan menjadikan orang tersebut pandai dalam agama dan mengangkat derajatnya baik di dunia maupun di akhirat sekaligus memasukan orang tersebut pada salah satu jalan menuju surga.











DAFTAR PUSTAKA

Abd Mujib, Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : Trigenda Karya, 1993.
Ahmad bin Abdul-Lathif Az-Zabidi, Imam Zainuddin, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Bandung : Mizan Media Utama, 2001
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 2002
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah, Jakarta : Maghfirah Pustaka, 2006
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : PT Balai Pustaka, 2007
Hadisaputra, Ihsan Anjuran al-Qur’an-Hadits untuk menuntut ilmu pengetahuan, pendidikan dan pengamalannya, Surabaya : Al-Ikhlas, 1981
Imam Al-Qurthubi, Syaikh, Tafsir Al-Qurthubi Jilid. Jakarta : Pustaka Azzam, 2008
Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Abdullah bin Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir,Jilid. IV. Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008
_________, Tafsir Ibnu Katsir,Jilid. VIII, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008

Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Abu Ja’far, Tafsir Ath-Thabari Jilid, Jakarta : Pustaka Azzam, 2009
_____________, Tafsis Al-Mishbah, Volume XIV, Jakarta : Lantera Hati, 2006.
Sunanto, Achmad dkk, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid I, Semarang : CV. Asy Syifa’, 1992.





MAKALAH
AL-QUR’AN DAN HADIST
Keutamaan Menuntut Ilmu

yang baru iain.jpg

Disusun Oleh:
Ahmad Qodriza
NIM. 141 622 2974



Dosen Pengampuh :
Dr. Aan Supian, M.Ag


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PRAOGRAM PASCASARJANA (S-2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2015


[1] Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu
[2] Al-Mundiri Hafidz.2000.Terjemah Attarghib wat tarhib.Surabaya.Al-Hidayah.hlm.01
[3] Az-zarnuzi.Ta’limul Muta’allim.Surabaya:Al-Hidayah.hlm.04
[4] Al-Mundiri Hafidz.2000.Terjemah Attarghib wat tarhib.Surabaya:Al-Hidayah.hlm.02
[5] Hadits Riwayat Sunan Ibnu Majah, Kitab al-ilmi, Bab Keutamaan Ulama’ dan anjuran mencari ilmu (Bentuk-bentuk Dar Al Fikri 2001) Jilid 1. Hal 183

1 komentar: