PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Islam juga mengatur kehidupan umat manusia di dunia
dan segala aspeknya. Bahkan Islam juga mendorong kemajuan dan memerintahkan
agar manusia terus mengusahakan kesejahteraan hidupnya.
Tentang ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadis nabi yang
memerintahkan manusia untuk mencari ilmu atau belajar, masih sedikit yang
diketahui oleh orang awam, apalagi yang belum pernah memperdalam Islam.
Setelah digali ternyata ditemukan banyak sekali
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis nabi yang memerintahkan agar umat Islam
terus menerus mencari ilmu atau belajar, dengan tidak mengenal pembatasan usia
atau tempat.
Kehadiran Nabi Adam as. di atas bumi berbekal ilmu
pengetahuan. Dengan ilmu tersebut, Adam dan anak cucunya terangkat derajatnya.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dapat dibuat sebagai standar kualitas
stratifikasi manusia. Namun ilmu sebagai pengangkat derajat manusia tidak di
dapat begitu saja, tetapi dibutuhkan usaha dalam mendapatkannya.
Hampir menjadi semacam kesepakatan umum, bahwa
peradaban masa depan adalah peradaban yang ada dalam banyak hal didominasi oleh
ilmu, yang pada tingkat praksis dan penerapan menjadi teknologi. Tanpa harus
menjadikan ilmu sebagai “pseudo-religion”, jelas bahwa maju atau mundurnya
suatu masyarakat di masa kini dan mendatang banyak ditentukan oleh tingkat
penguasaan dan kemajuan ilmu. Meski masa kini dan masa mendatang disebut
sebagai zaman globalisasi, tetapi sejauh menyangkut ilmu dan teknologi,
globalisasi dan kedua bidang ini tetap terbatas. Negara-negara paling termuka
dalam ilmu dan teknologi tidak begitu saja memberikan informasi atau melakukan
transfer ilmu dan tehnologi kepada Negara-negara berkembang. Termasuk di
dalamnya Indonesia. Oleh karena itu kita dituntut untuk mencari ilmu itu
sepanjang hidup dan oleh Allah swt diberikan keutamaan-keutamaan kepada mereka
(para pencari ilmu) dengan derajat yang tinggi sebagaimana yang akan kami
uraikan dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
A.
Ayat-Ayat
Al-Quran Mengenai Keutamaan menuntut Ilmu
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Q.S
Al-Mujadilah ayat 11)
Penjelasannya
Ayat di
atas memberi tuntunan bagaimana menjalin hubungan harmonis dalam satu majlis.
Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu
oleh siapa pun berlapang-lapanglah yakni berupayalah dengan sungguh-sungguh
walau dengan memaksakan diri untuk memberi tempat orang lain dalam
majelis-majelis yakni satu tempat, baik tempat duduk maupun bukan untuk duduk,
apabila diminta kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah tempat itu
untuk orang lain itu dengan suka rela. Jika kamu melakukan hal tersebut,
niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan
apabila dikatakan berdirilah kamu ke tempat yang lain, atau untuk tempat duduk
buat orang lain yang lebih wajar, atau bangkitlah untuk melakukan sesuatu
seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkit-lah, Allah akan
meninggikan orang-orang diantara kamu wahai yang memperkenankan tuntutan ini
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Kemudian di
dunia dan di akhirat dan Allah terhadap apa yang kamu kerjakan sekarang dan
masa datang Maha mengetahui.
Ada
riwayat yang mengatakan bahwa ayat di atas turun pada hari jumat, ketika itu
Rasul saw. Berada di suatu tempat yang sempit. Dan telah menjadi kebiasaan
beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr,
karena besarnya jasa mereka. Nah, ketika majelis sedang berlangsung, beberapa
orang diantara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada
Nabi saw. Nabi pun menjawab selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang
juga dijawab namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja
berdiri
Menurut
mufassir kenamaan Quraish Shihab, ayat di atas tidak menyebut secara tegas
bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa
mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekedar
beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa
sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperang besar dalam ketinggian
derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu
saja yang dimaksud alladzina utu al-ilmu/ yang diberi pengetahuan adalah mereka
yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di
atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekedar
beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta
memiliki pengetahuan. Derajat kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena
nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak
lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
* $tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S At-Taubah ayat 122)
Ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi
tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang
selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke medan
perang sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain.
Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum maka mengapa
tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar diantara mereka beberapa
orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan
tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan
untuk orang lain dan juga untuk memberi peringatan kepada kaum mereka yang
menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rasul saw. Itu apabila nanti setelah
selesai tugasnya. Mereka, yakni anggota pasukan itu telah kembali kepada mereka
yang memperdalampengetahuan itu, supaya mereka yang jauh dari Rasul saw. Karena
tugasnya dapat berhati-hati dan menjaga diri mereka.
Menurut Al-Biqa’i, kata Tha’ifah dapat berarti
satu atau dua orang. Ada juga yang tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang
jelas ia lebih kecil dari firqah yang bermakna sekelompok manusia yang berbeda
dengan kelompok yang lain. Karena itu satu suku atau bangsa masing-masing dapat
dinamai firqah.
Kata liyatafaqqahu terambil dari kata fiqh,
yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersebunyi.
Bukan sekedar pengetahuan. Penambahan huruf ta’ pada kata tersebut mengandung
makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi
pakar-pakar dalam bidangnya. Demikian kata tersebut mengundang kaum muslimin
untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan.
Ayat ini menggaris bawahi pentingnya
memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. ia tidak kurang
penting dari upaya mempertahankan wilayah bahkan, pertahanan wilayah berkaitan
erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan serta sumber
daya manusia. Sementara ulama menggaris bawahi persamaan redaksi
anjuran/perintah menyangkut kedua hal tersebut yaitu perang dan memperdalam
ilmu.
Sedangkan menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya
Fi Zhilalil Qur’an mengatakan bahwa untuk ke medan perang tidak sepatutnya
semua orang mukmin pergi. Namun untuk kepentingan itu ada sekelompok tersendiri
secara bergiliran antara yang berperang dengan yang tetap berdiam diri yang
bertugas memperdalam agama, sementara itu Hasan al Basri, Ibnu Katsir adalah
bahwa agama ini ”manhaj Haraki”, yang tak dapat dipahami kecuali oleh orang
yang berharakah dengannya. Oleh karena itu, orang-orang yang keluar untuk
berjihad memperjuangkan agama ini adalah orang-orang yang potensial untuk
memahaminya, karena ia telah menyingkap banyak rahasia dan makna agama ini.
Juga mendapat penglihatan secara langsung atas ayat-ayatnya dan implementasi
praksisnya pada saat ia mengusung harakah agama ini.
Sedangkan orang-orang yang berdiam diri di
dalam negeri, mereka itulah yang membutuhkan penjelasan dari orang-orang yang
telah berharakah dengan agama ini. Karena, mereka tak menyaksikan apa yang
telah disaksikan oleh orang-orang yang keluar berjuang, tak memahami seperti
pemahaman mereka dan tak mencapai rahasia-rahasia agama ini seperti yang
dicapai oleh oleh orang-orang yang berharakah. Terutama jika keluarnya bersama
Rasulullah. Keluar bersama beliau itu secara umum amat mendekatkan orang untuk
memahami dan menguasai pengertian agama ini.
yÎgx© ª!$# ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd èps3Í´¯»n=yJø9$#ur (#qä9'ré&ur ÉOù=Ïèø9$# $JJͬ!$s% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd âÍyêø9$# ÞOÅ6yÛø9$# ÇÊÑÈ
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat
dan orang-orang yang berilmu[1]
(juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Imran ayat 18)
Penjelasan
Kata
Syahida yang di atas diterjemahkan dengan menyaksikan, mengandung banyak arti
antara lain melihat, mengetahui, menghadiri, dan menyaksikan, baik dengan mata
kepala maupun dengan mata hati. Seorang saksi adalah yang menyampaikan
kesaksian di pengadilan atas dasar pengetahuan yang diperolehnya, kesaksian
mata atau hati. Dari sini, kata menyaksikan di atas dipahami dalam arti
menjelaskan dan menerangkan kepada seluruh mahluk.
Setelah
menjelaskan kesaksiaan Allah atas dirinya, ayat ini melanjutkan bahwa para
malaikatpun ikut meyaksikan. Kesaksian malaikat tercermin dalam ketaatan mereka
kepada Allah. Mereka melaksanakan seluruh perintahnya dan menjauhi seluruh
larangannya atas dasar pengetahuan mereka bahwa tiada Tuhan selainnya. Bukan
hanya para malaikat tetapi orang-orang yang berilmu juga menyaksikan bahwa
tiada Tuhan melainkan dia Allah yang maha Esa. Kesaksian mereka berdasar
dalil-dalil logika yang tidak terbantahkan, juga pengalaman-pengalaman rohani
mereka yang mereka dapatkan serta fitrah yang melekat pada diri mereka.
Allah
menyaksikan dirinya maha Esa, tiada Tuhan selain Dia. Keesaan itupun disaksikan
oleh para malaikat dan orang-orang yang berpengetahuan, dan masing-masing yakni
Allah, malaikat, dan orang-orang yang berpengetahuan, secara berdiri sendiri
menegaskan bahwa kesaksian yang mereka lakukan itu adalah berdasar keadilan.
Maka ini yang sementara dipahami oleh para ulama sebagai arti qa’iman bil qisth
yang redaksinya berbentuk tunggal. Tentu saja, kata mereka bentuk tunggal itu
tidak menunjukan kepada Allah, mailaikat dan orang-orang berilmu sekaligus. Ada
juga yang menjadikan kata qa’iman bil qisth yang berbentuk tunggal itu sebagai
penjelasan tentang keadaan Allah swt, dalam arti tidak ada yang dapat
menyaksikan Allah dengan penyaksian yang adil, yang sesuai dengan keagungan dan
keesaan-Nya kecuali Allah sendiri, karena hanya Allah yang mengetahui secara
sempurna siapa Allah. “ketuhanan adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh Allah,
maka tidak akan ada satupun yang mengenal-Nya kecuali diri-Nya sendiri”.
Demikian Imam Al-Gazali, karena itu pula, “jika anda bertanya apakah puncak
pengetahuan mahluk tentang Allah ?, maka saya menjawab (Al-Gazali) puncak
pengetahuan mereka adalah ketidak mampuan mengetahuinya”.
Menurut
Abu Ja’far : Ayat tersebut sebenarnya bantahan bagi kaum Nasrani yang datang
untuk mendebat Rasulullah SAW, yakni pernyataan mereka yang mengatakan bahwa
Isa adalah putra Allah, juga bantahan bagi kaum musyirik yang menyekutukan
Allah dengan yang lain. Allah mengabarkan tentang diri-Nya, bahwa dialah yang
menciptakan segalanya dan dialah yang telah menciptakan sesembahan kaum
musyirik. Semua itu lalu disaksikan oleh para malaikat dan ahli ilmu.
Beberapa
ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ”orang-orang yang berilmu” pada
ayat ini adalah para Nabi utusan Allah. Sedangkan Ibnu Kaisan berpendapat bahwa
mereka adalah orang-orang yang beriman dari kalangan ahlulkitab. Dan terakhir
pendapat dari As-Suddi dan Al Kalabi, mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan
adalah semua orang-orang yang beriman. Dan pendapat yang terakhir inilah yang
paling diunggulkan, karena lebih bersifat umum dalam pemaknaannya. Ayat ini
didukung dengan ayat yang lain seperti yang terdapat dalam qur’an surah
Al-Ankabut ayat 43 di bawah ini :
ù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $ygç/ÎôØnS Ĩ$¨Z=Ï9 ( $tBur !$ygè=É)÷èt wÎ) tbqßJÎ=»yèø9$# ÇÍÌÈ
Dan
perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu.
Penjelasannya
Firman Allah yang berbicara tentang amtsal al-qur’an
(perumpamaan al-qur’an) sebagai : “Tiada ada yang memahaminya kecuali
orang-orang ‘alim” mengisyaratkan bahwa perumpamaan-perumpamaan dalam al-qur’an
mempunyai makna-makna yang dalam, bukan terbatas pada pengertian kata-katanya.
Masing-masing orang sesuai kemampuan ilmiahnya dapat menimbah dari matsal itu
pemahamannya yang boleh jadi berbeda bahkan lebih dalam dari orang lain. Ini
juga berarti bahwa perumpamaan-perumpamaan yang dipaparkan di sini bukan
sekedar perumpamaan yang bertujuan sebagai hiasan kata-kata, tetapi yang
mengandung makna serta pembuktian yang sangat jelas.
B.
Hadist-Hadist
tentang Keutamaan menuntut ilmu
وَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : طَلَبِ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ وَضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ اَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ
الْخَنَازِيْرِ الْجَوْهَرَ وَ للُّؤْلُؤَ وَ الذَّهَبَ. (رواه ابن مجاه)
Artinya :
“dan Rosulullah
Saw. Telah bersabda : Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang
yang meletakkan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk
menerimanya dan orang yang menertawakan ilmu agama) seperti orang yang
mengalungi beberapa babi dengan beberapa permata, dan emas. (H.R. Ibnu
Majah,Al-Baihaqi,Anas bin Malik dan lain lain serta Al-Mundiri 28/1)
Penjelasan
Hadist tersebut merupakan penjelasan
tentang hukum mencari ilmu bagi setiap orang Islam laki laki maupun perempuan,
yang telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan lain lain. Akan tetapi hadist
tersebut diberi tanda lemah oleh imam Syuyuti.[2]
Adapun hukum menuntut ilmu menurut
hadist tersebut adalah wajib. Karena melihat betapa pentingnya ilmu dalam
kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia tidak akan bisa menjalani kehidupan ini
tanpa mempunyai ilmu. Bahkan dalam kitab taklimul muta’allim dijelaskan bahwa yang
menjadikan manusia memiliki kelebihan diantara makhluk – makhluk Allah yang
lain adalah karena manusia memilki ilmu.[3]
Dan janganlah memberikan ilmu kepada
orang yang enggan menerimanya, karena orang yang enggan menerima ilmu
tidak akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan mereka akan menertawakannya.[4]
حَدَ ثَنَا
هِشَاُمِ بِنْ عَمّاَرٍحَفْصُ بِنْ سُلَيْمَانَ.كَثِيْرُ بِنْ شِنْظِيْرِ,عَنْ
مُحَمَّدْ بِنْ سِيْرِ يْنَ,عَفْ أَئَفْسِ بن ما لك.قال:قال رَسُوْلُ الله صلى
الله عليه وسلم (طَلَبُ اْلِعلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ. وَوَاضِعُ
اْلعِلمِ عِنْدَغَيْر اَهْلِهِ كَمُقَلِّهِ اْلَخفَازِيْرِ
الْجَوْهَرَوَالُّلؤْلُؤُ وَالذَّهَبَ). (رواه ابن مجاه)[5]
وَ وَضِعُ الْعِلْمِ : Dan orang
yang meletakkan ilmu, maksudnya orang yang menempatkan ilmu
عِنْدَ غَيْرِ اَهْلِهِ
: Kepada orang yang bukan ahlinya,
orang yang bukan faknya
كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيْرِ : Seperti babi yang dikalungi emas(
sesuatu yang tidak pantas untuk dilakukan dan akhirnya tidak ada gunanya )
Terjemah Hadits
“Rosulullah Saw. Telah bersabda : Menuntut ilmu adalah
wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu kepada orang yang bukan
ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan orang yang menertawakan ilmu
agama) seperti orang yang mengalungi beberapa babi dengan beberapa permata, dan
emas. (H.R. Ibnu Majah)
Penjelasan Hadits
Hadits diatas menunjukkan bahwa
fardhu bagi setiap orang muslim mencari ilmu, dan orang yang memberikan ilmu
bagi selain ahlinya adalah seperti orang yang mengalungkan babi dengan mutiara,
permata dan emas. Orang yang mempunyai ilmu agama yang mengamalkannya dan
mengajarkannya orang ini seperti tanah tanah subur yang menyerap air sehingga
dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan memberi manfaaat bagi orang lain, dan
Allah juga akan memudahkan bagi orang-orang yang selama hidupnya hanya untuk
mencari, dipermudahkan baginya jalan menuju kesurga. Dengan ilmu derjat orang
tersebut tinggi dihadapan Allah, Allah pun akan meninggikan derajatnya di dunia
maupun diakhirat nanti, seorang muslim memperbanyak mengamalkan ilmu kepada
orang lain, maka semakin tinggi pula derajatnya dihadapan Allah, dibawah ini
salah satu hadits yang menunjukkan bahwa seseorang yang menempuh suatu jalan
dalam hidupnya untuk mencari ilmu, maka Allah akan mempermudahkan baginya jalan
menuju surga. Selain Allah memberikan derajat/kedudukan yang tinggi di dunia
maupun di akhirat bagi orang muslim yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya
kepada orang yang belum tahu. Allah juga : Seorang yang keluar dari rumahnya
dalam mencari ilmu, maka para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya untuk
orang tersebut. Jadi sangat mulai orang yang berniat hanya untuk mencari ilmu
semasa hidupnya.
Hadist tersebut merupakan penjelasan
tentang hukum mencari ilmu bagi setiap orang Islam laki laki maupun perempuan,
yang telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan lain lain. Akan tetapi hadist
tersebut diberi tanda lemah oleh imam Syuyuti.
Adapun hukum menuntut ilmu menurut
hadist tersebut adalah wajib. Karena melihat betapa pentingnya ilmu dalam
kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia tidak akan bisa menjalani kehidupan ini
tanpa mempunyai ilmu. Bahkan dalam kitab taklimul muta’allim dijelaskan bahwa
yang menjadikan manusia memiliki kelebihan diantara makhluk-makhluk Allah yang
lain adalah karena manusia memilki ilmu. Dan janganlah
memberikan ilmu kepada orang yang enggan menerimanya, karena orang yang
enggan menerima ilmu tidak akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan mereka
akan menertawakannya.
Ilmu sebagai suatau pengetahuan,
yang diperoleh melalui cara-cara tertentu. Karena menuntut ilmu dinyatakan
wajib, maka kaum muslimin menjalankannya sebagai suatu ibadah, seperti kita
menjalankan sholat,puasa. Maka orang pun mencari keutamaan ilmu. Disamping itu,
timbul pula proses belajar-mengajar sebagai konsekuensi menjalankan perintah
Rasulullah itu proses belajar mengajar ini menimbulkan perkembangan ilmu, yang
lama maupun baru, dalam berbagai cabangnya. Ilmu telah menjadi tenaga pendorong
perubahan dan perkembangan masyarakat. Hal itu terjadi, karena ilmu telah
menjadi suatu kebudayaan. Dan sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat Muslim dan dihadapak Allah. Jadi
ilmu juga bisa diartikan atau dijadikan sebagai pusat dari perubahan dan
perkembangan di dalam suatu masyarakat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ))مَنْ سَلَكَ
طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ((. رواه مسلم
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menempuh satu jalan
untuk menuntut ilmu, niscaya Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.
Muslim)
Penjelasan
Hadits ini menjelaskan
tentang keutamaan menuntut ilmu dan menempuh jalan yang menyampaikan kepada
ilmu. Menempuh jalan dalam menuntut ilmu memiliki dua pengertian, pertama;
menempuh jalan dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan menuju majlis-majlis
ilmu, baik di mesjid maupun di sekolah dan di tempat-tempat ilmu lainnya. Kedua;
menempuh sarana yang menyampaikan seseorang kepada ilmu sekalipun ia duduk di
atas kursi di rumahnya atau di tempat kerjanya yaitu dengan membaca buku-buku
tentang ilmu syar’i.
Maka barangsiapa
menempuh jalan-jalan tersebut untuk memahami ilmu syar’I, mengkaji tentang
apa-apa yang mengundang kekridhoan dari Allah
niscaya Allah akan mudahkan baginya untuk memasuki surga-Nya.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ((وَإِنَّ
الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ)). رواه أبو
داود والترمذي
Artinya: Dari Abu Darda’
berkata, aku mendengar Rasulullah
bersabda: “Dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya
untuk penuntut ilmu sebagai bentuk keridhoaan mereka terhadap apa yang ia
lakukan.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
تَضَعُ Meletakkan:
أَجْنِحَتَهَاSayap-sayapny
Penjelasan
Diantara keutamaan
menuntut ilmu yang dijelaskan oleh Rasulullah
adalah ketawadhuan para malaikat terhadap para penuntut ilmu. Maksud
para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka adalah penghormatan mereka terhadap
para penuntut ilmu sebagai bentuk keridhoan mereka.
Hukum dan Faidah:
1. Malaikat adalah hamba
Allah yang taat dan patuh terhadap segala perintah-Nya.
2. Diantara sifat malaikat
adalah memiliki sayap.
3. Ketawadhuan para
malaikat kepada penuntu ilmu.
4. Keridhoan para malaikat
terhadap penuntut ilmu menunjukkan keutaaman ilmu dan paenuntut ilmu.
عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ))مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ)). متفق عليه
Artinya: Dari Mu’awiyah berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang Allah
kehendaki kebaikan baginya, Allah pahamkan ia dalam urusan agama.”
(Muttafun ‘Alaih)
Kosakata:
خَيْرًاKebaikan:
يُفَقِّهْهُMemberinya
kepahaman:
Penjelasan
Kepahaman dalam
urusan agama adalah suatu nikmat dan anugrah yang sangat besar yang Allah
berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kepahaman seseorang terhadap
urusan agamanya merupakan salah satu bukti bahwa Allah menginginkan kebaikan
baginya.
Maksud dari
kepahaman dalam haidts ini bukan hanya terbatas pada keahliannya dalam
masalah-masalah fiqih saja, akan tetapi kepahaman yang mencakup seluruh perkara
yang berkaitan dengan syari’at Allah berupa aqidah, ibadah dan lain-lain.
Hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam shahihnya, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ سَلَكَ
طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ
كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ
السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ،
وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan
dalam rangka untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke
surga. Tidaklah berkumpul suatu kaum disalah satu masjid diantara masjid-masjid
Allah, mereka membaca Kitabullah serta saling mempelajarinya kecuali akan turun
kepada mereka ketenangan dan rahmat serta diliputi oleh para malaikat. Allah
menyebut-nyebut mereka dihadapan para malaikat.”
Sebuah hadits yang ada di shahihain dari
Muawiyah radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ يُرِدِ
اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah
kebaikan, niscana akan difahamkan tentang urusan agamanya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa
seorang hamba yang memiki semangat dan perhatian dalam menuntut ilmu merupakan
salah satu tanda yang menunjukkan bahwa Allah menghendaki kebaikan baginya.
Karena siapa saja yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka akan difahamkan
dalam urusan agamanya.
Hadits yang dikeluarkan oleh Abu
Dawud dan yang lainnya, dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَلَكَ
طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ
الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ
الْعِلْمِ ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ
فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ
عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ ، وَإِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا
الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam
rangka mencari ilmu maka Allah akan tunjukkan baginya salah satu jalan dari
jalan-jalan menuju ke surga. Sesungguhnya malaikat meletakan syap-sayap mereka
sebagai bentuk keridhaan terhadap penuntut ilmu.Sesungguhnya semua yang ada di
langit dan di bumi meminta ampun untuk seorang yang berilmu sampai ikan yang
ada di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli
ibadah sebagaimana keutamaan bulan purnama terhadap semua bintang. Dan
sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya mereka
tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambil bagian ilmu maka sungguh dia telah mengambil bagian
yang berharga.”
Ini adalah
hadits yang sangat agung. Berisi penjelasan tentang keutamaan ilmu, kemuliaan
ahlul ilmi dan pahala mereka disisi Allah ta’ala. Hadits diatas
mengandung lima kalimat, setiap kalimatnya menunjukkan akan keutamaan ahlul
ilmi dan tingginya kedudukan mereka disisi Allahta’ala. Oleh karena
itu ImamAl Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah memiliki tulisan
khusus yang menjelaskan hadits ini.
Diantara hadits shahih yang
menjelaskan tentang keutamaan dan kemuliaan menuntut ilmu adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا مَاتَ
الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ : إِلَّا مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ
“Apabila manusia telah meninggal dunia maka
terputuslah semua amalannya kecuali tiga amalan : shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan dia.” [HR. Muslim].
Hadits ini
menunjukkan atas agungnya keutamaan ilmu dan pahala mengajarkan ilmu, baik
lewat kajian maupun tulisan. Karena hal tersebut akan mmbuahkan pahala yang
besar untuk manusia baik dimasa hidupnya maupun setelah kematiannya. Amalannya
tidak akan terputus meskipun dia sudah meninggal dunia, bahkan pahala dan
ganjaran dari Allah ta’ala senantiasa mengalir kepadanya
selama ilmu yang dia ajarkan dimanfaatkan oleh manusia. Ini merupakan perkara
kedua yang Allah catat dan tetapkan untuk manusia
Diantara hadits yang menunjukkan
akan keutamaan ilmu dan mengajarkannya adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam :
خَيْرُكُمْ مَنْ
تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Orang terbaik diantara kalian adalah orang
yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.”
Didalam hadits ini terdapat
penetapan kebaikan bagi orang yang menyibukkan dirinya dengan Kitabullah dengan
mempelajari atau mengajarkannya. Oleh karena itu mereka termasuk orang terbaik
dari umat ini. Telah datang hadits dari shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ
يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu
kaum dengan Al Qur’an dan menurunkan derajat kaum yang lain dengannya.”
Telah datang keterangan bahwa
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kecerahan
wajah bagi orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu, berusaha memahami,
mempelajari dan mengajarkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
نَضَّرَ اللَّهُ
امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ
فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang
yang mendengarkan hadits, lalu menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak
orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Dan betapa
banyak orang yang membawa fiqih namun dia bukan seorang yang faqih.”
Kandungan hadits ini menunjukkan
akan keutamaan ilmu, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a
dengan do’a yang agung dan berbarakah bagi ahlul ilmi dan penuntut ilmu.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari serangkaian keutamaan, keistimewaan atau kelebihan
menuntut ilmu yang telah disebutkan oleh Allah swt. dalam kitab-Nya (al-Qur’an)
dan hadis nabi, sebagaimana yang dijelaskan oleh para mufassir: maka dapat
dipahami bahwa orang yang menuntut ilmu itu memiliki keududukan yang sama
dengan orang yang berjihad (perang) di jalan Allah bahkan lebih tinggi dari
yang sekedar beriman tapi tidak berilmu. Agar ilmu yang dipelajari mudah
dicerna, ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam menuntut ilmu yaitu
menjalin hubungan yang harmonis dalam satu majelis (memberikan kelapangan
kepada orang lain) dan memenuhi hak-hak Allah termasuk menjauhi kekufuran dan
kesyirikan agar menjadi Ulul Albab.
Ilmu yang dianjurkan dipelajari adalah ilmu secara umum.
Kemudian ilmu itu harus menghasilkan khassyah yakni rasa takut dan kagum kepada
Allah yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya
serta memanfaatkan untuk kepentingan makhluk.
Dengan ketekunan dan keikhlasan di dalam menuntut ilmu, maka
Allah akan menjadikan orang tersebut pandai dalam agama dan mengangkat
derajatnya baik di dunia maupun di akhirat sekaligus memasukan orang tersebut
pada salah satu jalan menuju surga.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Mujib, Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : Trigenda
Karya, 1993.
Ahmad bin Abdul-Lathif Az-Zabidi, Imam Zainuddin, Ringkasan Shahih
Al-Bukhari, Bandung : Mizan Media Utama, 2001
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju
Melinium Baru, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 2002
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah, Jakarta : Maghfirah
Pustaka, 2006
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta : PT Balai Pustaka, 2007
Hadisaputra, Ihsan Anjuran al-Qur’an-Hadits untuk menuntut ilmu
pengetahuan, pendidikan dan pengamalannya, Surabaya : Al-Ikhlas, 1981
Imam Al-Qurthubi, Syaikh, Tafsir Al-Qurthubi Jilid. Jakarta : Pustaka
Azzam, 2008
Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Abdullah bin Alu Syaikh, Tafsir Ibnu
Katsir,Jilid. IV. Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008
_________, Tafsir Ibnu Katsir,Jilid.
VIII, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Abu Ja’far, Tafsir Ath-Thabari Jilid,
Jakarta : Pustaka Azzam, 2009
_____________, Tafsis Al-Mishbah, Volume XIV, Jakarta : Lantera Hati, 2006.
Sunanto, Achmad dkk, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid I, Semarang : CV.
Asy Syifa’, 1992.
MAKALAH
AL-QUR’AN
DAN HADIST
Keutamaan
Menuntut Ilmu
Disusun
Oleh:
Ahmad Qodriza
NIM. 141 622 2974
Dosen Pengampuh :
Dr. Aan Supian, M.Ag
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PRAOGRAM PASCASARJANA (S-2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2015
[1] Ayat ini untuk menjelaskan martabat
orang-orang berilmu
[2]
Al-Mundiri Hafidz.2000.Terjemah Attarghib wat tarhib.Surabaya.Al-Hidayah.hlm.01
[3]
Az-zarnuzi.Ta’limul Muta’allim.Surabaya:Al-Hidayah.hlm.04
[4]
Al-Mundiri Hafidz.2000.Terjemah Attarghib wat tarhib.Surabaya:Al-Hidayah.hlm.02
[5]
Hadits Riwayat Sunan Ibnu Majah, Kitab al-ilmi, Bab Keutamaan Ulama’ dan
anjuran mencari ilmu (Bentuk-bentuk Dar Al Fikri 2001) Jilid 1. Hal 183